Tumbuh di Tengah Badai
Penulis: Herniwatty Moechiam
Penyunting: Gunawan B.S.
Penerbit: Bentang, Cetakan I: April 2009
Dari sampul depan dan belakang buku ini, sudah bisa terdeteksi bahwa buku ini menceritakan perjuangan seorang ibu dan anak autistiknya dalam meraih suatu kemampuan diikuti kemampuan lainnya. Kemampuan yang mudah dikuasai oleh seorang individu normal seringkali sulit dikuasai oleh individu yang autistik.
Belum lagi indera individu autistik sering sangat sensitif terhadap sesuatu (berbeda-besa pada setiap individu) sampai-sampai yang bersangkutan menjadi sangat terganggu (mungkin seperti ter-iritasi). Catra, individu autistik di buku ini, menjadi rewel jika dipakaikan diapers, pakaian tertentu, topi, atau sepatu. Catra bisa terperanjat dan menangis ketakutan mendengar suara orang bersin, tangisan anak lain, tawa yang keras, suara berdecit, dering telepon, dan banyak suara lainnya. Padahal kondisi yang normal tapi mengganggu dan tidak nyaman bagi individu autistik ini sering ditemui di tempat terapi atau di sekolah sehingga mengganggu kegiatan belajar.
Di sisi lain, Catra yang masih bayi sangat tertarik mendengar suara azan dan kemudian segala sesuatu yang bernuansa Islam, seperti mesjid, huruf Arab, perlengkapan shalat.
Permasalahan yang tak henti-hentinya dalam membesarkan anak autistik dan 2 orang kakaknya masih ditambah dengan pertengkaran dan pertikaian yang sering terjadi dengan suami. Ibu Herniwatty, penulis buku ini, juga "mengajari" guru-guru dan teman-teman anaknya mengenai individu autistik. Benar-benar perjalanan panjang yang tidak mudah dan melelahkan yang dinamakannya "Sekolah Kehidupan".
Perjalanan yang bagi Catra seperti tersandung di setiap langkah. Meskipun tentu saja ada langkah-langkah yang menggembirakan, antara lain ketika Catra mendapat giliran membawakan kultum dan menyitir salah satu surat mengenai pertolongan Allah yang dikaitkannya dengan kesulitan-kesulitannya sebagai individu autistik. Ketika membaca buku ini sering tanpa disadari kita (pembaca) jadi berucap, "Subhanallah" dan meneteskan air mata. Kini Catra kuliah di UGM, belajar menapaki jalan hidupnya sendiri.
Berbagi pengalaman dengan menulis buku pasti tidak mudah karena seperti membeberkan kehidupan sendiri kepada khalayak ramai dan juga seperti mengoyak luka lama. Tetapi pelajaran yang diberikan buku ini sangat banyak. Apalagi buku ini dituturkan dengan sangat baik. Apa yang dipelajari Ibu Herniwatty di "Sekolah Kehidupan" menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi siapapun karena sesungguhnya setiap orang berada di sekolah yang sama. Terima kasih banyak Ibu Herniwatty dan keluarga yang sudah berbagi melalui buku ini.
Buku lain tentang berbagi pengalaman membesarkan anak autistik: Dyah Puspita, "Untaian Duka Taburan Mutiara".
Penyunting: Gunawan B.S.
Penerbit: Bentang, Cetakan I: April 2009
Dari sampul depan dan belakang buku ini, sudah bisa terdeteksi bahwa buku ini menceritakan perjuangan seorang ibu dan anak autistiknya dalam meraih suatu kemampuan diikuti kemampuan lainnya. Kemampuan yang mudah dikuasai oleh seorang individu normal seringkali sulit dikuasai oleh individu yang autistik.
Belum lagi indera individu autistik sering sangat sensitif terhadap sesuatu (berbeda-besa pada setiap individu) sampai-sampai yang bersangkutan menjadi sangat terganggu (mungkin seperti ter-iritasi). Catra, individu autistik di buku ini, menjadi rewel jika dipakaikan diapers, pakaian tertentu, topi, atau sepatu. Catra bisa terperanjat dan menangis ketakutan mendengar suara orang bersin, tangisan anak lain, tawa yang keras, suara berdecit, dering telepon, dan banyak suara lainnya. Padahal kondisi yang normal tapi mengganggu dan tidak nyaman bagi individu autistik ini sering ditemui di tempat terapi atau di sekolah sehingga mengganggu kegiatan belajar.
Di sisi lain, Catra yang masih bayi sangat tertarik mendengar suara azan dan kemudian segala sesuatu yang bernuansa Islam, seperti mesjid, huruf Arab, perlengkapan shalat.
Permasalahan yang tak henti-hentinya dalam membesarkan anak autistik dan 2 orang kakaknya masih ditambah dengan pertengkaran dan pertikaian yang sering terjadi dengan suami. Ibu Herniwatty, penulis buku ini, juga "mengajari" guru-guru dan teman-teman anaknya mengenai individu autistik. Benar-benar perjalanan panjang yang tidak mudah dan melelahkan yang dinamakannya "Sekolah Kehidupan".
Perjalanan yang bagi Catra seperti tersandung di setiap langkah. Meskipun tentu saja ada langkah-langkah yang menggembirakan, antara lain ketika Catra mendapat giliran membawakan kultum dan menyitir salah satu surat mengenai pertolongan Allah yang dikaitkannya dengan kesulitan-kesulitannya sebagai individu autistik. Ketika membaca buku ini sering tanpa disadari kita (pembaca) jadi berucap, "Subhanallah" dan meneteskan air mata. Kini Catra kuliah di UGM, belajar menapaki jalan hidupnya sendiri.
Berbagi pengalaman dengan menulis buku pasti tidak mudah karena seperti membeberkan kehidupan sendiri kepada khalayak ramai dan juga seperti mengoyak luka lama. Tetapi pelajaran yang diberikan buku ini sangat banyak. Apalagi buku ini dituturkan dengan sangat baik. Apa yang dipelajari Ibu Herniwatty di "Sekolah Kehidupan" menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi siapapun karena sesungguhnya setiap orang berada di sekolah yang sama. Terima kasih banyak Ibu Herniwatty dan keluarga yang sudah berbagi melalui buku ini.
Buku lain tentang berbagi pengalaman membesarkan anak autistik: Dyah Puspita, "Untaian Duka Taburan Mutiara".
1 Comments:
makasih infonya, mba.. jadi pengen baa. ini kisah nyata ya? skrg putra si ibu di kisah ini sudah normal kah?
Post a Comment
<< Home