Buku, Buku, Buku!

verba volant, scripta manent ~ kata-kata yang diucapkan akan lenyap, yang dituliskan akan tetap

My Photo
Name:
Location: Bintaro, Tangerang Selatan 15412, Indonesia

Born and raised in Jakarta, I wonder when, where and how this journey end? .. and how will I reborn again?

Sunday, May 11, 2008

Palestina Membara (d/h Palestina 1 - 2) Duka Orang-Orang Terusir




Judul asli: Palestine
Karya: Joe Sacco
Pengantar: Edward Said dan Goenawan Mohamad--pada edisi Indonesia--
Penerjemah: Ary Nilandari
Penyunting naskah: Salman Faridi
Desain sampul: Andi Yudha A.
Penerbit: DAR! Mizan
Cetakan I, Maret 2008 (d/h Cetakan I, November 2003)

Novel grafis Palestina Membara (1 jilid) pada tahun 2003 pernah diterbitkan sebagai Palestina 1 dan Palestina 2 (2 jilid). Kami terkecoh, menyangka buku baru, ternyata kami sudah punya buku ini. Hanya saja, buku ini dulu diterbitkan dalam 2 jilid, sekarang dalam 1 jilid.

Di dalam Palestina Membara (d/h Palestina), Joe Sacco menceritakan perjalanannya berkunjung ke kamp-kamp pengungsi Palestina, melihat apa yang terjadi dan suasana keseharian di sana. Dia mewawancara orang-orang; tidak hanya menanyakan pengalaman dan keseharian mereka, tetapi juga menanyakan perasaan dan menangkap ekspresi wajah dan tubuh mereka. Dan Joe Sacco memiliki kelebihan lain: dia juga bercerita melalui gambar.

Wow, bercerita lewat kata-kata saja sudah sulit, ditambah bercerita lewat gambar. Format gambarnya pun bermacam-macam: seperti komik biasa (satu halaman dibagi dalam beberapa kotak), gambar satu halaman penuh, atau seperti majalah dengan kolom-kolom yang dilengkapi gambar. Jadinya sangat padat dan informatif, padahal sebagian besar isinya adalah penderitaan orang-orang Palestina.

Alkisah, di dalam Joshua 1 : 3 termuat sebagai berikut:
Setiap tempat yang dilangkahi telapak kakimu telah kuberikan kepadamu seperti yang kujanjikan kepada Musa. Dari padang liar dan Lebanon ini hingga sungai Euphrates, seluruh tanah Hitit sampai ...


Pada tahun 1917, Lord Balfour dari Inggris menandatangani deklarasi dan para zionis memperoleh komitmen Inggris untuk sebuah negeri di Palestina untuk kaum Yahudi. "Negeri tanpa rakyat untuk rakyat tanpa negeri" (halaman 12). Tapi benarkah demikian? Pada tahun 1917 banyak orang Arab tinggal di Palestina. Ketika itu perbandingan Arab dan Yahudi adalah 10 banding 1.

Pengusiran warga Palestina ternyata sudah menjadi gagasan pada akhir 1800-an sejak Theodor Herzl merumuskan Zionisme modern. "Kita harus memindahkan secara diam-diam populasi miskin itu [sic] ke luar perbatasan dengan menciptakan pekerjaan untuknya di negara-negara transit, sementara melarangnya bekerja di negara kita sendiri."

Menurut Perdana Menteri pertama Israel, David Ben-Gurion, orang Palestina "sama nyamannya apakah dia di Yordania, Lebanon, atau tempat-tempat lain". Bagi Ben-Gurion tidak ada "pemindahan diam-diam", yang ada adalah "serangan telak yang mengakibatkan kehancuran rumah-rumah dan pengusiran populasi". "Warga Palestina hanya punya satu peran lagi... untuk lari."

Setelah tahun 1948, Perdana Menteri Golda Meier menganggap, "Seolah-olah ada orang-orang Palestina yang menganggap diri mereka warga Palestina dan kami datang lalu mendepak mereka keluar dan mengambil negeri mereka. Tidak begitu. Mereka tidak ada." (halaman 42)

Mereka tidak ada? Selama dan setelah perang tahun 1948 nyaris 400 desa Palestina dihancurkan Israel. Rumah dan tanah orang Palestina dinyatakan "ditinggalkan" atau "tidak diolah" dan diambil alih untuk permukiman Yahudi.

Dan datanglah Joe Sacco, yang kemudian bercerita dan menggambarkan untuk kita tentang orang-orang Palestina: mereka yang lari pada tahun 1948, mereka yang rumah dan kebun zaitunnya dihancurkan, anak sekolah yang tertembak, orang-orang yang bekerja di Israel yang harus memiliki beberapa macam izin, orang-orang pengangguran, anak muda yang beberapa kali ditembak, orang-orang yang pernah dipenjara (menjadikan mereka yang belum pernah dipenjara merasa malu), peraturan berusaha yang sangat merugikan orang-orang Palestina, listrik yang mati, distribusi air yang disengaja agar orang Palestina mendapat air yang asin, suami-istri yang terpisah karena tidak mendapat izin (Israel) untuk keluar atau masuk Palestina, anak yang sedang berteduh dari hujan dan diusir oleh tentara karena tentara-tentara itulah yang akan berteduh dan anak itu yang harus berhujan-hujan, dan lain-lain, dan sebagainya.

Tidak hanya itu, Joe Sacco juga bercerita tentang bagaimna orang Palestina menerima dan menjamu tamu: suguhan teh atau kopi, hidangan-hidangan makan malam, orang Palestina yang mempersilakan Joe Sacco tidur di tempat tidur sedangkan pemilik rumah tidur di lantai yang dingin. Bahkan ada pemilik rumah yang menawarkan baju dalamnya ketika tahu Joe Sacco tidak membawa ganti.

Setelah 60 tahun berlalu dari perang 1948, 41 tahun dari perang tahun 1967, 21 tahun dari Intifada, nasib orang Palestina tidak membaik, kalau tidak dikatakan semakin memburuk. Banyak orang Palestina bertanya ke Joe Sacco, bahwa sudah banyak jurnalis yang datang, mewawancara dan membuat foto-foto, tetapi apa gunanya bagi orang Palestina?

Paling tidak, dengan adanya komik karya Joe Sacco ini, pembaca seperti ikut berada di jalan-jalan berlumpur kamp-kamp pengungsi, memasuki rumah dan merasakan keramahan keluarga Palestina di balik tekanan hidup yang mereka hadapi, tertawa mendengar pertanyaan anak-anak. Meskipun kita tidak bisa merasakan duka, kepedihan, kegusaran, dan kegeraman mereka (bayangan kita tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan pengalaman nyata mereka), novel grafis Palestina mengingatkan kita untuk menyertakan orang-orang Palestina (dan bangsa-bangsa teraniaya lainnya) dalam doa-doa kita.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home