Sutan Sjahrir - Demokrat Sejati, Pejuang Kemerdekaan - 1909-1966
Penulis: H. Rosihan Anwar
Penyunting: Sabam Siagian
Terjemahan Bahasa Inggris: Mien Joebhaar
Penyunting Bahasa Inggris: Klarijn Anderson-Loven
Pengantar: Jaap Erkelens
Kata Pengantar: Dr. Ignas Kleden - Sutan Sjahrir: Etos Politik Dan Jiwa Klasik
Penerbit: Penerbit Buku Kompas dan KITLV Press
Cetakan: I, Februari 2010
Tebal: 176 halaman
Menurut Pengantar dari Jaap Erkelens, buku Sutan Sjahrir - Demokrat Sejati, Pejuang Kemerdekaan (True Democrat, Fighter for Humanity) - 1909-2006 adalah buku ketiga dan terakhir dari rangkaian buku untuk mengenang "satu abad" Bung Karno (2001), Bung Hatta (2002), dan Bung Sjahrir (2009). Terkait dengan seratus tahun kelahiran ketiga tokoh tersebut, ketiga buku tersebut masing-masing memuat seratus foto secara kronologis, sekaligus melengkapi kisah yang tertulis. Meskipun ada catatan mengenai pemilik atau sumber foto, sayangnya tidak terlacak fotografer atau the man behind the camera dari foto-foto tersebut. Buku ini ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Inggris sekaligus.
Ignas Kleden dalam pengantarnya menyebutkan bahwa dari tulisan-tulisan Sutan Sjahrir timbul kesan bahwa bagi Sjahrir, politik merupakan perkara yang tak terelakkan dalam hidupnya. Bagi Sjahrir, politik tidak untuk merebut kekuasaan dan memanfaatkan kekuasaan itu.
Riwayat hidup dan pemikiran Sutan Sjahrir sudah diterbitkan dalam berbagai buku. Rosihan Anwar melengkapi kisah hidup Sjahrir sejak lahir hingga wafat dengan kisah-kisah di seputar kehidupan Sjahrir dan kondisi pada zaman itu. Pekerjaan Rosihan sebagai wartawan sejak jaman pendudukan Jepang memberinya kesempatan bertemu dengan tokoh-tokoh pergerakan--tentunya termasuk Sutan Sjahrir-- dan menyaksikan sendiri peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah Republik Indonesia, seperti perundingan dan penandatanganan Perjanjian Linggarjati.
Sjahrir lahir di Padang Panjang, 5 Maret 1909. Sjahrir digambarkan berperawakan pendek: 1,60 cm lebih sedikit, punya bakat untuk gemuk, suka tertawa lepas, dengan sorotan mata ramah dan bersahabat.
Sjahrir disekolahkan di Europeesche Lagere School (ELS) dan kemudian di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Medan. Selanjutnya Sjahrir meneruskan pendidikannya ke Algemene Middelbare School (AMS) Westers Klassieke Afdeling (jurusan Budaya Barat Klasik atau jurusan A) di Bandung. Sekolah setingkat SD, SMP, dan SMA tersebut menggunakan bahasa Belanda.
Sewaktu di AMS, Sjahrir aktif dalam pergerakan organisasi Pemuda Indonesia yang kelak berkembang menjadi Indonesia Muda. Ia ikut mendirikan perguruan nasional "Tjahja Volksuniversiteit" (Universitas Rakyat "Tjahja") dalam usaha pemberantasan buta huruf mendidik anak-anak pribumi. Soekarno--insinyur tamatan Technische Hooge School (Sekolah Tinggi Teknik) serta 8 tahun lebih tua dari Sjahrir--, adalah pemimpin partai nasionalis bersemangat tinggi dan tinggal di Bandung. Soekarno pernah diundang berceramah dalam sebuah pertemuan pelajar sekolah menengah yang dipimpin oleh Sjahrir.
Setamat dari AMS Bandung, Sjahrir belajar di Fakultas Hukum Gemeente Universiteit van Amsterdam dan kemudian mendaftar ke Universiteit Leiden. Dia jarang mengikuti kuliah, tetapi serius mempelajari Sosialisme. Sjahrir bersahabat dengan Salomon Tas, Ketua Klub Mahasiswa Sosial-Demokrat, dan Maria Duchâteau--istri Sal-- yang kelak dinikahi Sjahrir di Medan. Pernikahan ini hanya sebentar; orang Belanda memaksa Maria kembali ke Negeri Belanda.
Di Negeri Belanda, Sjahrir bertemu dengan Mohammad Hatta yang belajar di Sekolah Tinggi Ekonomi di Rotterdam. Hatta adalah ketua Perhimpoenan Indonesia, organisasi mahasiswa yang didirikan tahun 1908. Sjahrir bergabung dan menjadi sekretaris perhimpunan pada Februari 1930.
Sementara itu, Ir. Soekarno ditangkap dan dipenjarakan pada akhir Desember 1929. Partai Nasional Indonesia (PNI) yang dipimpin Soekarno dibubarkan. Kader yang menentang pembubaran PNI membentuk wadah baru Pendidikan Nasional Indonesia atau PNI-Pendidikan atau PNI-Baru. Sjahrir dan Hatta berpendapat bahwa mereka harus membantu PNI-Pendidikan. Pada akhir Desember 1931, Sjahrir tiba di Bandung.
Pada bulan Agustus 1932, Hatta kembali ke Tanah Air dan mengambil alih kepemimpinan PNI-Pendidikan. Sjahrir mengurangi keterlibatannya di PNI-Pendidikan dan berencana melanjutkan studi ke Negeri Belanda. Ternyata rencana itu tidak pernah terlaksana. Tahun 1934 Belanda menangkap 13 orang aktivis PNI-Pendidikan termasuk Hatta dan Sjahrir. Tanggal 23 Januari 1935 mereka diangkut ke Boven Digoel. Tahun 1936-1942 Hatta dan Sjahrir dipindahkan ke Banda Neira, Maluku.
Surat-surat Sjahrir ke istrinya Maria Duchâteau selama dalam tahanan dan pembuangan disunting dan dibukukan dengan judul Indonesische Overpeinzingen (1945). Buku tersebut diterjemahkan oleh HB Jassin dengan judul Renungan Indonesia (terbit 1947 dan 1951). Kelak buku tersebut dan tulisan Sjahrir dalam buku Out of Exile (1948) diterbitkan dengan judul "Renungan dan Perjuangan" (Penerbit Djambatan dan Dian Rakyat, 1990)--buku yang membuatku terpukau pada Sjahrir.
Selama masa pendudukan Jepang, Sjahrir bekerja di bawah tanah, mendengarkan siaran radio luar negeri. Pada waktu itu, Jepang menyegel dan menyensor radio. Sebagian orang--termasuk Soekarno-- meremehkan pekerjaan Sjahrir yang mendengarkan radio secara diam-diam. Tapi Sjahrir dan pengikut-pengikutnya menganggap penting mendapatkan informasi yang benar di saat yang tepat. Pada bulan Agustus 1945, Sjahrir menyampaikan informasi kepada Hatta bahwa Jepang telah kalah perang. Namun Soekarno dan Hatta belum percaya dan mencari konfirmasi dari pembesar/panglima Jepang.
Pada tanggal 14 November 1945, Sjahrir terpilih sebagai Perdana Menteri. Tahun 1946 dilakukan perundingan di Linggarjati, Jawa Barat. Republik Indonesia diakui de facto berkuasa di Jawa Dan Sumatera. Republik Indonesia dengan negara-negara bagian bentukan Belanda akan membentuk Negara Indonesia Serikat. Pada 27Juni 1946 di Solo, Sjahrir diculik kelompok Tan Malaka yang menentang politik diplomasi dengan Belanda. Perjanjian Linggarjati ditandatangani di Jakarta pada 25 Maret 1947. Sjahrir menjabat sebagai Perdana Menteri sampai dengan 27 Juni 1947--kecuali selama satu bulan dalam tahun 1946.
Belanda melakukan serangan umum militer pada tanggal 21 Juli 1947. Pertengahan Agustus 1947, Sjahrir berbicara di depan sidang Dewan Keamanan PBB, membantah Menteri Luar Negeri Belanda dan menyatakan bahwa Republik Indonesia sudah mempunyai kelengkapan sebagai negara seperti pemerintah, wilayah, dan tentara. Akhir 1947 Belanda-Indonesia berunding lagi. Perjanjian Renville ditandatangani pada 17 dan 19 Januari 1948, mengakibatkan penarikan kantong TNI di Jawa Barat mundur ke Jawa Tengah.
Belanda melakukan serangan umum militer kedua pada tanggal 19 Desember 1948 di tengah berlangsungnya perundingan antara Komisi Tiga Negara PBB dan Delegasi RI di Kaliurang. Pimpinan Pemerintah RI di antaranya Soekarno, Hatta, Sjahrir diasingkan ke Parapat dan Bangka. Belanda mengklaim bahwa Republik Indonesia tidak ada lagi. Namun Jenderal Soedirman, Kol. A.H. Nasution, Kol. T.B. Simatupang melanjutkan perang gerilya di Jawa. Kol. Hidayat memimpin perang gerilya di Sumatera.
Amerika Serikat jengkel dengan aksi militer II tersebut dan mendesak Belanda untuk melakukan perundingan. Persetujuan Van Roijen - Moh. Roem tercapai tanggal 7 Mei 1949. Pemerintah RI kembali berkuasa. Jenderal Soedirman yang berada di daerah gerilya kembali ke Yogya, bergabung dengan Soekarno-Hatta. Konferensi Meja Bundar berlangsung dari 23 Agustus sampai 2 November 1949.
Pada tanggal 27 Desember 1949 penyerahan kedaulatan berlangsung secara serentak di Amsterdam dan Jakarta. Moh. Hatta sebagai PM RIS menandatangani dokumen di Amsterdam. Sedangkan Sultan Hamengku Buwono IX sebagai Menteri Pertahanan RIS menandatangani dokumen di Jakarta. Soekarno tidak mau hadir pada upacara di Jakarta karena berpendapat bahwa bangsa Indonesia sudah merdeka sejak 17 Agustus 1945.
Sejak akhir tahun 1949 Sjahrir tidak lagi memegang jabatan resmi kenegaraan. Sebagai warganegara biasa, Sjahrir mengembangkan Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang didirikan di Yogyakarta 12 Februari 1948 akibat perbedaan dengan tokoh-tokoh pro komunisme. PSI hanyalah partai kecil, bersifat partai kader; anggotanya terbatas di daerah perkotaan. Pada Pemilu 1955 PSI kalah.
Dalam kehidupan pribadi, pada tahun 1948 Sjahrir bercerai dengan Maria Duchâteau. Pada tanggal 26 Mei 1951 Sjahrir menikah dengan Siti Wahyunah Saleh (Poppy)--mantan sekretarisnya-- di Kairo. Sejak 1949, Poppy belajar ilmu hukum di Universiteit Leiden dan ilmu sosial di London School of Economics. Poppy adalah kakak Soedjatmoko.
Sementara itu, Soekarno semakin berkuasa. Pada 21 Juli 1960 Soekarno menegaskan bahwa PSI dan Masyumi harus dibubarkan. Pada tanggal 16 Januari 1962 Sjahrir dan beberapa orang ditangkap, pada mulanya ditahan di Jakarta, dan kemudian dipindahkan ke tahanan di Madiun. Pada tahun 1962 Sjahrir sempat dirawat di RSPAD Gatot Subroto karena tekanan darah tinggi. Setelah keadaannya membaik, pada tahun 1963 dan 1964 Sjahrir dipindahkan ke penjara Jl. Keagungan dan tahun 1965 dipindahkan ke Rumah Tahanan Militer Jl. Budi Utomo. Kemudian Sjahrir terkena stroke.
Poppy mengusahakan agar Sjahrir bisa berobat ke luar negeri. Soekarno mengizinkan, dengan status Sjahrir tetap sebagai tahanan. Tanggal 21 Juli 1965 keluarga Sjahrir bertolak menuju Swiss. Di Zurich, Sjahrir tidak dapat berbicara, tetapi tetap mengikuti tayangan televisi, mendengarkan siaran radio, membaca surat kabar. Sjahrir tetap mengikuti perkembangan dunia dan keadaan di Indonesia. Setelah koma selama tujuh hari, Sjahrir meninggal dunia pada tanggal 9 April 1966. Sjahrir dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional dan mendapat persetujuan untuk pemakaman negara dengan penghormatan penuh.
Poppy menyetujui pemakaman negara. Jenazah Sjahrir dibawa dengan pesawat terbang melalui Amsterdam, Frankfurt, Kairo, dan Bangkok. Tanggal 17 April 1966, jenazah Sjahrir tiba di bandara Kemayoran dan disemayamkan di rumah duka. Tanggal 19 April 1966 Sjahrir dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Di akhir kata perpisahannya pada pemakaman sahabatnya Sutan Sjahrir, Bung Hatta berpesan:
Penyunting: Sabam Siagian
Terjemahan Bahasa Inggris: Mien Joebhaar
Penyunting Bahasa Inggris: Klarijn Anderson-Loven
Pengantar: Jaap Erkelens
Kata Pengantar: Dr. Ignas Kleden - Sutan Sjahrir: Etos Politik Dan Jiwa Klasik
Penerbit: Penerbit Buku Kompas dan KITLV Press
Cetakan: I, Februari 2010
Tebal: 176 halaman
Menurut Pengantar dari Jaap Erkelens, buku Sutan Sjahrir - Demokrat Sejati, Pejuang Kemerdekaan (True Democrat, Fighter for Humanity) - 1909-2006 adalah buku ketiga dan terakhir dari rangkaian buku untuk mengenang "satu abad" Bung Karno (2001), Bung Hatta (2002), dan Bung Sjahrir (2009). Terkait dengan seratus tahun kelahiran ketiga tokoh tersebut, ketiga buku tersebut masing-masing memuat seratus foto secara kronologis, sekaligus melengkapi kisah yang tertulis. Meskipun ada catatan mengenai pemilik atau sumber foto, sayangnya tidak terlacak fotografer atau the man behind the camera dari foto-foto tersebut. Buku ini ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Inggris sekaligus.
Ignas Kleden dalam pengantarnya menyebutkan bahwa dari tulisan-tulisan Sutan Sjahrir timbul kesan bahwa bagi Sjahrir, politik merupakan perkara yang tak terelakkan dalam hidupnya. Bagi Sjahrir, politik tidak untuk merebut kekuasaan dan memanfaatkan kekuasaan itu.
Riwayat hidup dan pemikiran Sutan Sjahrir sudah diterbitkan dalam berbagai buku. Rosihan Anwar melengkapi kisah hidup Sjahrir sejak lahir hingga wafat dengan kisah-kisah di seputar kehidupan Sjahrir dan kondisi pada zaman itu. Pekerjaan Rosihan sebagai wartawan sejak jaman pendudukan Jepang memberinya kesempatan bertemu dengan tokoh-tokoh pergerakan--tentunya termasuk Sutan Sjahrir-- dan menyaksikan sendiri peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah Republik Indonesia, seperti perundingan dan penandatanganan Perjanjian Linggarjati.
Sjahrir lahir di Padang Panjang, 5 Maret 1909. Sjahrir digambarkan berperawakan pendek: 1,60 cm lebih sedikit, punya bakat untuk gemuk, suka tertawa lepas, dengan sorotan mata ramah dan bersahabat.
Sjahrir disekolahkan di Europeesche Lagere School (ELS) dan kemudian di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Medan. Selanjutnya Sjahrir meneruskan pendidikannya ke Algemene Middelbare School (AMS) Westers Klassieke Afdeling (jurusan Budaya Barat Klasik atau jurusan A) di Bandung. Sekolah setingkat SD, SMP, dan SMA tersebut menggunakan bahasa Belanda.
Sewaktu di AMS, Sjahrir aktif dalam pergerakan organisasi Pemuda Indonesia yang kelak berkembang menjadi Indonesia Muda. Ia ikut mendirikan perguruan nasional "Tjahja Volksuniversiteit" (Universitas Rakyat "Tjahja") dalam usaha pemberantasan buta huruf mendidik anak-anak pribumi. Soekarno--insinyur tamatan Technische Hooge School (Sekolah Tinggi Teknik) serta 8 tahun lebih tua dari Sjahrir--, adalah pemimpin partai nasionalis bersemangat tinggi dan tinggal di Bandung. Soekarno pernah diundang berceramah dalam sebuah pertemuan pelajar sekolah menengah yang dipimpin oleh Sjahrir.
Setamat dari AMS Bandung, Sjahrir belajar di Fakultas Hukum Gemeente Universiteit van Amsterdam dan kemudian mendaftar ke Universiteit Leiden. Dia jarang mengikuti kuliah, tetapi serius mempelajari Sosialisme. Sjahrir bersahabat dengan Salomon Tas, Ketua Klub Mahasiswa Sosial-Demokrat, dan Maria Duchâteau--istri Sal-- yang kelak dinikahi Sjahrir di Medan. Pernikahan ini hanya sebentar; orang Belanda memaksa Maria kembali ke Negeri Belanda.
Di Negeri Belanda, Sjahrir bertemu dengan Mohammad Hatta yang belajar di Sekolah Tinggi Ekonomi di Rotterdam. Hatta adalah ketua Perhimpoenan Indonesia, organisasi mahasiswa yang didirikan tahun 1908. Sjahrir bergabung dan menjadi sekretaris perhimpunan pada Februari 1930.
Sementara itu, Ir. Soekarno ditangkap dan dipenjarakan pada akhir Desember 1929. Partai Nasional Indonesia (PNI) yang dipimpin Soekarno dibubarkan. Kader yang menentang pembubaran PNI membentuk wadah baru Pendidikan Nasional Indonesia atau PNI-Pendidikan atau PNI-Baru. Sjahrir dan Hatta berpendapat bahwa mereka harus membantu PNI-Pendidikan. Pada akhir Desember 1931, Sjahrir tiba di Bandung.
Pada bulan Agustus 1932, Hatta kembali ke Tanah Air dan mengambil alih kepemimpinan PNI-Pendidikan. Sjahrir mengurangi keterlibatannya di PNI-Pendidikan dan berencana melanjutkan studi ke Negeri Belanda. Ternyata rencana itu tidak pernah terlaksana. Tahun 1934 Belanda menangkap 13 orang aktivis PNI-Pendidikan termasuk Hatta dan Sjahrir. Tanggal 23 Januari 1935 mereka diangkut ke Boven Digoel. Tahun 1936-1942 Hatta dan Sjahrir dipindahkan ke Banda Neira, Maluku.
Surat-surat Sjahrir ke istrinya Maria Duchâteau selama dalam tahanan dan pembuangan disunting dan dibukukan dengan judul Indonesische Overpeinzingen (1945). Buku tersebut diterjemahkan oleh HB Jassin dengan judul Renungan Indonesia (terbit 1947 dan 1951). Kelak buku tersebut dan tulisan Sjahrir dalam buku Out of Exile (1948) diterbitkan dengan judul "Renungan dan Perjuangan" (Penerbit Djambatan dan Dian Rakyat, 1990)--buku yang membuatku terpukau pada Sjahrir.
Selama masa pendudukan Jepang, Sjahrir bekerja di bawah tanah, mendengarkan siaran radio luar negeri. Pada waktu itu, Jepang menyegel dan menyensor radio. Sebagian orang--termasuk Soekarno-- meremehkan pekerjaan Sjahrir yang mendengarkan radio secara diam-diam. Tapi Sjahrir dan pengikut-pengikutnya menganggap penting mendapatkan informasi yang benar di saat yang tepat. Pada bulan Agustus 1945, Sjahrir menyampaikan informasi kepada Hatta bahwa Jepang telah kalah perang. Namun Soekarno dan Hatta belum percaya dan mencari konfirmasi dari pembesar/panglima Jepang.
Pada tanggal 14 November 1945, Sjahrir terpilih sebagai Perdana Menteri. Tahun 1946 dilakukan perundingan di Linggarjati, Jawa Barat. Republik Indonesia diakui de facto berkuasa di Jawa Dan Sumatera. Republik Indonesia dengan negara-negara bagian bentukan Belanda akan membentuk Negara Indonesia Serikat. Pada 27Juni 1946 di Solo, Sjahrir diculik kelompok Tan Malaka yang menentang politik diplomasi dengan Belanda. Perjanjian Linggarjati ditandatangani di Jakarta pada 25 Maret 1947. Sjahrir menjabat sebagai Perdana Menteri sampai dengan 27 Juni 1947--kecuali selama satu bulan dalam tahun 1946.
Belanda melakukan serangan umum militer pada tanggal 21 Juli 1947. Pertengahan Agustus 1947, Sjahrir berbicara di depan sidang Dewan Keamanan PBB, membantah Menteri Luar Negeri Belanda dan menyatakan bahwa Republik Indonesia sudah mempunyai kelengkapan sebagai negara seperti pemerintah, wilayah, dan tentara. Akhir 1947 Belanda-Indonesia berunding lagi. Perjanjian Renville ditandatangani pada 17 dan 19 Januari 1948, mengakibatkan penarikan kantong TNI di Jawa Barat mundur ke Jawa Tengah.
Belanda melakukan serangan umum militer kedua pada tanggal 19 Desember 1948 di tengah berlangsungnya perundingan antara Komisi Tiga Negara PBB dan Delegasi RI di Kaliurang. Pimpinan Pemerintah RI di antaranya Soekarno, Hatta, Sjahrir diasingkan ke Parapat dan Bangka. Belanda mengklaim bahwa Republik Indonesia tidak ada lagi. Namun Jenderal Soedirman, Kol. A.H. Nasution, Kol. T.B. Simatupang melanjutkan perang gerilya di Jawa. Kol. Hidayat memimpin perang gerilya di Sumatera.
Amerika Serikat jengkel dengan aksi militer II tersebut dan mendesak Belanda untuk melakukan perundingan. Persetujuan Van Roijen - Moh. Roem tercapai tanggal 7 Mei 1949. Pemerintah RI kembali berkuasa. Jenderal Soedirman yang berada di daerah gerilya kembali ke Yogya, bergabung dengan Soekarno-Hatta. Konferensi Meja Bundar berlangsung dari 23 Agustus sampai 2 November 1949.
Pada tanggal 27 Desember 1949 penyerahan kedaulatan berlangsung secara serentak di Amsterdam dan Jakarta. Moh. Hatta sebagai PM RIS menandatangani dokumen di Amsterdam. Sedangkan Sultan Hamengku Buwono IX sebagai Menteri Pertahanan RIS menandatangani dokumen di Jakarta. Soekarno tidak mau hadir pada upacara di Jakarta karena berpendapat bahwa bangsa Indonesia sudah merdeka sejak 17 Agustus 1945.
Sejak akhir tahun 1949 Sjahrir tidak lagi memegang jabatan resmi kenegaraan. Sebagai warganegara biasa, Sjahrir mengembangkan Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang didirikan di Yogyakarta 12 Februari 1948 akibat perbedaan dengan tokoh-tokoh pro komunisme. PSI hanyalah partai kecil, bersifat partai kader; anggotanya terbatas di daerah perkotaan. Pada Pemilu 1955 PSI kalah.
Dalam kehidupan pribadi, pada tahun 1948 Sjahrir bercerai dengan Maria Duchâteau. Pada tanggal 26 Mei 1951 Sjahrir menikah dengan Siti Wahyunah Saleh (Poppy)--mantan sekretarisnya-- di Kairo. Sejak 1949, Poppy belajar ilmu hukum di Universiteit Leiden dan ilmu sosial di London School of Economics. Poppy adalah kakak Soedjatmoko.
Sementara itu, Soekarno semakin berkuasa. Pada 21 Juli 1960 Soekarno menegaskan bahwa PSI dan Masyumi harus dibubarkan. Pada tanggal 16 Januari 1962 Sjahrir dan beberapa orang ditangkap, pada mulanya ditahan di Jakarta, dan kemudian dipindahkan ke tahanan di Madiun. Pada tahun 1962 Sjahrir sempat dirawat di RSPAD Gatot Subroto karena tekanan darah tinggi. Setelah keadaannya membaik, pada tahun 1963 dan 1964 Sjahrir dipindahkan ke penjara Jl. Keagungan dan tahun 1965 dipindahkan ke Rumah Tahanan Militer Jl. Budi Utomo. Kemudian Sjahrir terkena stroke.
Poppy mengusahakan agar Sjahrir bisa berobat ke luar negeri. Soekarno mengizinkan, dengan status Sjahrir tetap sebagai tahanan. Tanggal 21 Juli 1965 keluarga Sjahrir bertolak menuju Swiss. Di Zurich, Sjahrir tidak dapat berbicara, tetapi tetap mengikuti tayangan televisi, mendengarkan siaran radio, membaca surat kabar. Sjahrir tetap mengikuti perkembangan dunia dan keadaan di Indonesia. Setelah koma selama tujuh hari, Sjahrir meninggal dunia pada tanggal 9 April 1966. Sjahrir dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional dan mendapat persetujuan untuk pemakaman negara dengan penghormatan penuh.
Poppy menyetujui pemakaman negara. Jenazah Sjahrir dibawa dengan pesawat terbang melalui Amsterdam, Frankfurt, Kairo, dan Bangkok. Tanggal 17 April 1966, jenazah Sjahrir tiba di bandara Kemayoran dan disemayamkan di rumah duka. Tanggal 19 April 1966 Sjahrir dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Di akhir kata perpisahannya pada pemakaman sahabatnya Sutan Sjahrir, Bung Hatta berpesan:
...
Pemuda Indonesia, tanamlah dalam hatimu: Sjahrir Pahlawan Nasional Indonesia.