Buku, Buku, Buku!

verba volant, scripta manent ~ kata-kata yang diucapkan akan lenyap, yang dituliskan akan tetap

My Photo
Name:
Location: Bintaro, Tangerang Selatan 15412, Indonesia

Born and raised in Jakarta, I wonder when, where and how this journey end? .. and how will I reborn again?

Saturday, May 20, 2006

Confessions of an Economic Hit Man [Edisi Indonesia]

Penulis: John Perkins
Penerjemah: Herman Tirtaatmaja dan Dwi Karyani
Editor: Michael AR Tosin

Confessions of an Economic Hit Man diterbitkan pertama kali di US tahun 2004 dan terjemahan bahasa Indonesia-nya (Pengakuan Seorang Ekonom Perusak) diterbitkan tahun 2005. Buku ini menceritakan pengalaman John Perkins sebagai seorang economic hit man atau e.h.m--istilah yang diberikannya sendiri--, yaitu profesional yang dibayar sangat tinggi untuk berlaku tidak jujur di berbagai negara di dunia sehingga pada akhirnya sumberdaya negara tersebut mengalir ke US. Tepatnya, US menciptakan kondisi agar negara-negara berkembang (less developed countries)--istilahnya di tahun 1970/80-an-- berhutang dalam jumlah yang tidak mampu dibayar kembali, dan sebagian besar hutang tersebut sebenarnya akan kembali ke US dalam bentuk kontrak-kontrak pekerjaan untuk kontraktor-kotraktor dan konsultan US.

E.h.m yang pertama adalah Kermit Roosevelt yang terlibat penggulingan pemerintahan di Iran di tahun 1950-an. Masalahnya adalah Roosevelt adalah agen CIA, seorang pegawai pemerintah. Jika ia tertangkap, akan memalukan bagi US. Oleh karena itu CIA dan NSA merekrut orang-orang seperti John Perkins sebagai e.h.m.

Begitulah, John Perkins kemudian direkrut oleh National Security Agency (NSA) dan bekerja di perusahaan konsultan Chas. T. Main, Inc. Penugasan pertamanya adalah di Indonesia dalam pengembangan sistem kelistrikan Pulau Jawa. Tahun 1971 Perkins tiba di Indonesia (tahun ini saya di kelas 4 SD). Perkins diminta untuk membuat proyeksi ekonomi yang menggelembung--dengan dalih keajaiban pertumbuhan ekonomi--, yang dipakai untuk memprediksi kebutuhan energi dan kapasitas di Pulau Jawa 25 tahun ke depan. Selanjutnya, untuk membiayai pembangunan infrastruktur tersebut, negara diarahkan untuk meminjam dari US, yang sebenarnya akan kembali lagi ke US dalam bentuk pekerjaan-pekerjaan untuk perusahaan-perusahaan engineering, kontraktor, dan konsultan. Dalihnya adalah untuk memperbaiki kehidupan rakyat Indonesia, tetapi alasan sebenarnya adalah demi kebijakan luar negeri dan kepentingan perusahaan Amerika Serikat. Suatu istilah yang disebut Perkins sebagai corporatocracy dengan pilar-pilarnya adalah korporasi besar, bank internasional, dan pemerintah [US]. Setelah di Indonesia, Perkins bertugas di beberapa negara berkembang lainnya, antara lain Panama, Kolombia, dan Saudi Arabia.

Sukseskah pekerjaan e.h.m? Tentu sukses, meskipun ada kegagalan seperti di Irak (sehingga harus dilakukan intervensi militer) dan Venezuela. Negara-negara yang diberi pinjaman sudah berhutang sedemikian besar sehingga dapat mudah ditekan, terutama untuk memenuhi kebutuhan Amerika Serikat akan minyak. Jangan lupa sekitar tahun 1970-an, ketika Perkins ke Indonesia, juga masih kuat ancaman komunis di wilayah Asia Tenggara. Komunis sudah sampai di Kamboja dan Vietnam, dan sangat dikhawatirkan adanya efek domino kalau-kalau negara-negara tetangga turut jatuh ke tangan komunis--meskipun Indonesia dianggap sukses menggagalkan komunis di tahun 1965--. Juga ketika di tahun 1973 OPEC melakukan embargo minyak, Amerika Serikat sangat terpukul sehingga diperlukan upaya agar embargo seperti ini tidak terjadi lagi.

Peristiwa 11 September 2001 (9/11) lah yang menguatkan kegelisahan Perkins akibat kebijakan luar negeri Amerika Serikat selama ini, yaitu ketamakan Amerika Serikat mengembangkan perekonomiannya dengan 'mengorbankan' negara-negara berkembang. Amerika Serikat menerima akibatnya dalam bentuk serangan 9/11 tadi.

35 tahun sejak Perkins menjejakkan langkahnya di Indonesia, bagaimanakah kondisi Indonesia? Ternyata Indonesia masih belum terbebas dari hutang. Di dalam RAPBN 2006, terdapat defisit anggaran sebesar Rp 19,8 triliun dan pembayaran pokok utang dalam dan luar negeri masing-masing sebesar Rp 31,4 triliun dan Rp 60,4 triliun (total Rp 91,8 triliun). Sumber pembiayaan meliputi dalam negeri (perbankan dan non-perbankan) sebesar Rp 81,7 triliun dan pinjaman luar negeri sebesar Rp 29,9 triliun. (Sumber: Nota Keuangan dan RAPBN Tahun Anggaran 2006) Jadinya seperti tutup lubang, gali lubang.

Dengan bencana tsunami yang melanda Aceh dan Nias dan berbagai kebutuhan pembangunan di Indonesia, bisakah Indonesia terbebas dari hutang? Bisakah Indonesia tidak membuat hutang-hutang baru? Bisakah hutang-hutang yang dibuat ini digunakan secara produktif sehingga menghasilkan devisa negara yang lebih besar untuk dapat menutup hutang-hutang tadi? Bagaimana caranya ya?