Buku, Buku, Buku!

verba volant, scripta manent ~ kata-kata yang diucapkan akan lenyap, yang dituliskan akan tetap

My Photo
Name:
Location: Bintaro, Tangerang Selatan 15412, Indonesia

Born and raised in Jakarta, I wonder when, where and how this journey end? .. and how will I reborn again?

Sunday, March 25, 2007

La Grande Borne


Penulis: Nh. Dini
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007

La Grande Borne, sebuah kawasan perumahan di Grigny, di selatan Kota Paris, adalah tempat tinggal Dini sekeluarga sejak akhir musim panas 1970. Di sinilah Dini mengurus rumah tangga, membesarkan anak-anaknya, dan menghadapi masalah ketidaksepahaman dengan suami.

Sebenarnya apa yang diceritakan Dini adalah peristiwa sehari-hari, seperti sekolah anak, ke dokter gigi, berkenalan dengan tetangga, liburan keluarga, mendapatkan SIM, hewan peliharaan, hobby suami, dan lain-lain. Hal-hal yang sederhana, yang sebenarnya juga dialami oleh ibu-ibu rumah tangga pada umumnya. Yang tidak biasa--bagi orang Indonesia-- adalah settingcerita yang di Prancis, di dalam sebuah keluarga campuran ayah Prancis - ibu Indonesia, dengan pekerjaan ayah yang diplomat Prancis dan ibu seorang penulis. Di sini juga diceritakan mengenai map yang berisi naskah-naskah tulisan Dini, yang dibawanya ketika Dini berlibur ke rumah temannya di Belanda untuk menulis. (Jadi membayangkan jaman belum ada laptop dan internet..) Selain itu, juga ada perselingkuhan dan sakit berat yang dialami Dini. Dini menceritakan pengalaman mancanegara-nya dengan warna pribadi seorang perempuan Jawa.

La Grande Borne adalah bagian dari Seri Cerita Kenangan yang disusun Dini. Hmmm.. seperti apa ya buku-buku Seri Cerita Kenangan sebelumnya? Jadi ingin baca buku-buku itu, juga buku La Barka. Coba ah, kalau ke rumah ortu, saya akan cari "La Barka". Siapa tahu ada..

Sunday, March 11, 2007

Aku Beriman, maka Aku Bertanya - Aku Menggugat, Maka Aku Kian Beriman




Judul asli: Losing My Religion: A Call for Help
Penulis: Jeffrey Lang
Penerjemah: Agung Prihantoro
Penerbit: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2006

Buku Losing My Religion: A Call for Help adalah buku ketiga Prof. Jeffrey Lang setelah Struggling to Surrender dan Even Angels Ask yang juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. (Sayangnya, saya malah belum membaca buku-buku Prof. Lang yang pertama dan kedua ini). Di dalam terjemahan bahasa Indonesia, buku Losing My Religion: A Call for Help dijadikan ke dalam 2 jilid buku.

Isinya berangkat dari keprihatinan Prof. Lang mengenai fenomena menjauhnya kaum muslim kelahiran Amerika dan menghilangnya para mualaf dari masjid. Terdapat gejala-gejala yang menunjukkan bahwa generasi muslim mendatang (di Amerika) sedang teramerikanisasi. Mengapa agama Islam dijauhi dan ditinggalkan?

Anak-anak muslim yang lahir di Amerika tumbuh dalam benturan budaya Amerika dan subkultur masjid, dan bagi mereka sulit untuk menangkap relevansi Islam dengan kehidupan nyata mereka. Benturan ini semakin terasa karena anak-anak di sekolah terbiasa bertanya dan menyanggah, sementara masjid-masjid sepertinya tidak mengakomodasi berbagai pertanyaan yang muncul.

Buku ini memuat berbagai pertanyaan yang muncul di benak generasi muda muslim, mualaf, dan perempuan-perempuan muslim di Amerika, baik yang disampaikan melalui surel (e-mail) maupun yang disampaikan langsung kepada Prof. Lang ketika berceramah di suatu tempat. Pertanyaan-pertanyaan yang oleh pihak masjid sepertinya tidak diperkenankan. Sedangkan bagi Prof. Lang, bertanya adalah sah-sah saja. Dan bahkan malaikat pun bertanya! Yaitu ketika Allah memberitahu para malaikat bahwa Allah hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.

Mempertanyakan sesuatu atau bersikap kritis tampaknya memang merupakan sesuatu yang natural bagi Prof. Lang, mengingat bahwa Prof. Lang adalah orang Amerika yang lahir, besar, dan mendapatkan pendidikan di Amerika. Sebagai seorang yang masuk agama Islam, Prof. Lang berangkat dari sejumlah pertanyaan, dan juga sebagai seorang muslim Amerika mempunyai segudang pertanyaan sendiri. Itu sebabnya mengapa Prof. Lang tampaknya peka terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh generasi muda muslim, para mualaf, dan perempuan-perempuan muslim Amerika. (..eleuh.. eleuh.. sok tahu deh....)

Pendekatan kritis dalam kehidupan beragama ini sesungguhnya menjadi masukan bagi saya. Apalagi, terus terang, saya memang bukan orang yang kritis. Pendekatan keberagamaan saya paling melalui pertanyaan "what's in store for me?" dan kemudian try to live by it (namanya juga try bisa berhasil bisa tidak..), meskipun rasanya saya juga tidak "pasrah-pasrah amat" dengan apa yang tersedia.

Membaca terjemahan Losing My Religion ini menyadarkan tentang masalah yang dihadapi kaum muslim di Amerika, yang rasanya juga dihadapi oleh kaum muslim di Indonesia dan berbagai belahan dunia lainnya. Atau jangan-jangan, muslim di Indonesia menghadapi masalah yang jauh lebih berat lagi?

Kisah Sukses Google

Judul asli: The Google Story
Penulis: David A. Vise dan Mark Malseed
Alih bahasa: Alex Tri Kantjono
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006

Pengguna internet mana sih yang tidak tahu Google? Bisa dipastikan tidak ada yang unjuk jari jika ditanya "siapa yang tidak kenal Google?". Fenomena Google memang "ruarrrr... biasa..." Bagaimana tidak luar biasa jika Google yang berdiri di tahun 1998 dengan produk awal search engine/mesin pencari di internet menjadi perusahaan terbuka di tahun 2004 dengan produk yang semakin beragam (termasuk mengakuisisi Blogger.com) dan diawaki orang-orang muda berusia 30-an awal.

Sergey Brin dan Lawrence Page adalah kandidat-kandidat Ph.D dalam Computer Science di Stanford University. Mereka menciptakan search engine BackRub di tahun 1996 dan menggunakan kamar asrama sebagai pusat data (lihat no. 18 backrub di Yahoo! Netrospective: 10 years, 100 moments of the Web. BackRub beralih nama menjadi Google, yang sebenarnya salah eja karena seharusnya adalah G-o-o-g-o-l. Tapi, apa boleh buat, Larry sudah terlanjur mendaftarkan Google.com.

Larry dan Sergey bertemu di musim semi 1995 pada masa orientasi mahasiswa baru di Stanford. Ketika itu Sergey bertugas sebagai pemandu mahasiswa baru di program pascasarjana untuk berkeliling kampus. Sergey sudah lebih dulu diterima di Stanford. Diceritakan bahwa Sergey mendapatkan nilai A untuk seluruh ujian penerimaan mahasiswa baru program doktor di Stanford (semuanya ada sepuluh ujian). Tiba-tiba Larry dan Sergey mulai berbantahan yang menjadi awal bahwa mereka menemukan lawan tanding intelektual yang seimbang. Perbantahan terus menerus namun dalam suasana persahabatan menjadi landasan kemitraan mereka selanjutnya.

Ayah Larry meraih PhD dan ibunya mempunyai gelar master dalam ilmu komputer. Sedangkan ayah Sergey mengajar matematika di University of Maryland dan ibunya seorang ilmuwan yang sukses di Goddard Space Flight Center milik NASA. Latar belakang keluarga berotak cemerlang dan lingkungan pendidikan di Stanford tampaknya menjadi inkubator berbagai inovasi yang berkaitan dengan internet dan komputer.

Dan jadilah Larry dan Sergey pengusaha muda yang sukses di bidang dotcom. Tentu saja sukses ini didukung oleh penyandang dana di Silicon Valley dan CEO Eric Schmidt yang mengurusi perusahaan. Eric Schmidt sendiri bergelar Ph.D dalam ilmu komputer dari University of California at Berkeley. Kultur perusahaan Google yang seperti suasana kampus sangat mendorong pekerja untuk berpikir kreatif. Pendeknya, Googleplex--kantor pusat Google-- adalah kantor idaman. (lihat antara lain foto-foto di majalah Time).

Perjalanan Google sepertinya masih panjang. Bagaimana Google mengeduk uang dari iklan-iklan, membuat software berbasis web, men-scan buku-buku di perpustakaan sehingga bisa diperoleh dengan gratis di internet, tentu mengkhawatirkan pemain-pemain lain. (Baca artikel di Wired: Who's Afraid of Google? Everyone.) Google bahkan merekrut calon karyawan di depan hidung Microsoft. Tapi apa yang sudah dicapai Google dalam waktu yang singkat adalah buah dari ke-genius-an, kreativitas, dan kerjasama orang-orang di dalamnya.