Buku, Buku, Buku!

verba volant, scripta manent ~ kata-kata yang diucapkan akan lenyap, yang dituliskan akan tetap

My Photo
Name:
Location: Bintaro, Tangerang Selatan 15412, Indonesia

Born and raised in Jakarta, I wonder when, where and how this journey end? .. and how will I reborn again?

Saturday, January 26, 2008

RADJA KETJIL Badjak Laut Di Selat Malaka

Penulis: H. Rosihan Anwar
Penerbit: Indira, Jakarta, 1967

Ejaan lama ya??? !@#$%^&* Wow, jadul kaleee... Belum lahir ketika buku ini terbit?

Buku RADJA KETJIL ini bersejarah bagi saya karena merupakan hadiah kenaikan kelas dari guru kelas 3 SD dulu di tahun 1970 (37 tahun yang lalu!). Seingat saya, Ibu Maria memberi hadiah kepada juara I sampai III (dulu belum ada istilah ranking; dan rasanya saya bukan juara I). Terima kasih Ibu Maria. Buku ini juga merupakan satu-satunya hadiah yang saya terima berkaitan dengan prestasi akademis. 'Duh, miskin prestasi ya?

Meskipun subjudulnya "Badjak Laut Di Selat Malaka", buku ini tidak menceritakan petualangan para bajak laut, tetapi tentang perebutan kekuasaan di Kerajaan Johor. Memang, di masa mudanya, Radja Ketjil hidup mengembara di laut dan di darat di pelbagai bagian Nusantara. Ia berteman dengan orang-orang Illanun, Balanini, perompak-perompak laut dari Tobelo dan Galela, menahan kapal-kapal orang kulit putih lalu merompaknya habis-habisan. Bajak laut yang berasal dari berbagai tempat seperti Johor, Jambi, Palembang, Minangkabau, bukanlah bajak laut yang asal merompak, melainkan mereka membawa amanat membela rakyat terhadap kaum penjajah asing yang datang dari Barat seperti Belanda, Inggris, Spanyol, dan Portugis. Barangkali subjudul yang lebih tepat adalah "Mantan Badjak Laut Di Selat Malaka"? ;p

Kisah di buku ini dimulai ketika Radja Ketjil sudah berkuasa di Kerajaan Siak yang berkedudukan di Bengkalis, hendak menyerang Johor. Bergantian datang orang Bugis dan kemudian Raja Negara--Temenggung Kerajaan Johor-- dari Singapura menawarkan bantuan. Tentu saja tawaran bantuan ini tidak cuma-cuma, tetapi ada imbalannya.

Johor jatuh ke tangan Radja Ketjil pada tanggal 17 Maret 1717. Dikisahkan pada waktu itu sebuah kapal perang Portugis sedang berlabuh di Johor. Kapal itu milik Gubernur Portugis, Albuquerque Coelho--apa ada hubungan dengan Paolo Coelho?--, yang baru diangkat untuk Macao.

Dikisahkan bahwa Sultan Johor kemudian menyerah dan dijadikan bendahara. Radja Ketjil lalu menikahi salah seorang putri bendahara, yang diperkirakan sebagai siasat untuk mengambil hati orang-orang Johor, yaitu untuk mencegah pembangkangan di masa mendatang.

Daing Parani, orang Bugis yang menawarkan bantuan tetapi kemudian ditinggal Radja Ketjil ketika menyerang Johor, kemudian menagih janji agar diangkat sebagai Yang Dipertuan Muda. Radja Ketjil menolak. Daing Parani kemudian menikahi putri bendarahara juga.

Persengkokolan baru pun dibuat, yaitu antara anak laki-laki bendahara (ipar Radja Ketjil dan Daing Parani) dan Daing Parani untuk menggulingkan Radja Ketjil. Tetapi usaha kudeta ini bisa dipatahkan. Radja Ketjil memindahkan pusat kerajaan ke Riau.

Rupanya persetukuan Tongku Soleiman (putra bendahara) dan Daing Parani untuk merebut kekuasaan Kerajaan Johor masih berlanjut. Orang-orang Bugis mendadak muncul di Riau. Radja Ketjil berhasil diperdayakan di Pulau Linggi dan kerajaannya di Riau berhasil direbut.

Cerita diakhiri dengan utusan Radja Ketjil berhasil membawa keluar istri Radja Ketjil dan istri-istri para pengikutnya sehingga dapat bergabung dengan Radja Ketjil dan para pengikutnya di pengasingan.

Begitulah kehidupan suku-suku bangsa di Nusantara, yang tidak henti-hentinya saling bertikai, berebut kekuasaan. Pertikaian terus menerus ini dimanfaatkan Belanda dengan politik "divide et impera". Suatu suku bangsa diminta membantu menumpas pemberontakan suku lain. Orang Maluku diminta berperang ke Sumatera. Orang Jawa diminta berperang ke Sulawesi atau Sumatera. Demikian seterusnya. Suku-suku bangsa yang tidak bersatu dan terpecah-belah, dan dibuat untuk terus bersengketa, sehingga mudah dikuasai/dijajah.

Meskipun jadul, kisah Radja Ketjil ini sesungguhnya tetap relevan dengan kondisi sekarang. Perebutan kekuasaan (bisa dalam bentuk yang lain: pilkada atau pilkades misalnya), pertikaian, masih mewarnai keseharian kita. Novella sejarah yang ditulis Rosihan Anwar ini hendaknya dijadikan peringatan dan pelajaran bagi generasi muda Indonesia agar terus menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Ingat semboyan "Bhinneka Tunggal Ika". Karena seperti kata pepatah, "bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh".