Buku, Buku, Buku!

verba volant, scripta manent ~ kata-kata yang diucapkan akan lenyap, yang dituliskan akan tetap

My Photo
Name:
Location: Bintaro, Tangerang Selatan 15412, Indonesia

Born and raised in Jakarta, I wonder when, where and how this journey end? .. and how will I reborn again?

Saturday, December 22, 2007

an inconvenient truth


Penulis: Al Gore
Penerbit: Bloomsburry Publishing, London, 2006 (diterbitkan pertama kali di USA oleh Rodale, 2006)

an inconvenient truth - The Planetary Emergency Of Global Warming And What We Can Do About It bermula dari slideshow, yang kemudian berkembang menjadi buku dan film dalam judul yang sama. Buku ini merupakan buku kedua Al Gore, setelah buku pertamanya Earth in The Balance terbit tahun 1992. Adalah Tipper (istri Al Gore) yang mengusulkan untuk menyusun buku yang disertai dengan foto dan gambar grafis agar krisis iklim mencapai khalayak yang lebih luas.

Buku ini sama seperti film an incovenient truth, memperlihatkan slideshow tentang pemanasan global akibat peningkatan emisi CO2 dan efek rumah kaca serta pengaruhnya terhadap perubahan iklim di bumi, tetapi dalam intensitas yang lebih kuat. Yah, memang pictures speak louder than words. Tetapi juga, karena narasi di buku ini lebih dalam dan luas dan pembaca memiliki waktu yang lebih lama untuk mencerna. Film an inconvenient truth memiliki keunggulan tersendiri karena adanya animasi grafis pada slideshow yang disiapkan Al Gore, tetapi penonton mungkin tidak cukup waktu untuk mengendapkan karena film atau slideshow terus bergerak.

Sama seperti filmnya, buku ini diselingi dengan uraian mengenai kehidupan keluarga Al Gore dan Tipper, masa kecil Al Gore, kakaknya Nancy, ilmuwan Roger Revelle.

Di akhir buku, Al Gore menuliskan apa yang dapat dilakukan untuk membantu mengatasi masalah krisis iklim, yang secara garis besar adalah:
• hemat energi di rumah;
• bepergian dengan cara hemat;
• kurangi konsumsi, lestarikan (lingkungan) lebih sering;
• jadilah katalisator untuk perubahan.
Beberapa saran--dan situs web yang disertakan--tampaknya hanya dapat dilaksanakan oleh mereka yang tinggal di Amerika Serikat atau ditujukan untuk yang tinggal di negara 4 musim, tetapi banyak saran lainnya bisa diterapkan secara universal.

Al Gore juga mengingatkan adanya 10 konsepsi yang salah mengenai pemanasan global, seperti:
1. Ilmuwan tidak sepakat mengenai apakah manusia merupakan penyebab iklim bumi berubah.
2. Banyak hal dapat mempengaruhi iklim--sehingga tidak ada alasan untuk mengkhawatirkan hanya CO2.
3. Secara alamiah iklim akan bervariasi dari waktu ke waktu sehingga setiap perubahan yang kita lihat saat ini hanyalah bagian dari siklus alamiah.
4. Lubang di lapisan ozon menyebabkan pemanasan global.
5. Tidak ada yang dapat kita perbuat mengenai perubahan iklim. Sudah terlalu terlambat.
6. Lembaran es Antartika bertumbuh sehingga tidak benar bahwa pemanasan global menyebabkan glasir dan es di laut mencair.
7. Pemanasan global adalah hal yang baik, karena akan menghindarkan kita dari musim dingin yang parah dan menyebabkan tanaman lebih cepat tumbuh.
8. Ilmuwan pemanasan global mencatat bahwa ini hanyalah akibat kota-kota yang memperangkap panas, dan bukan efek gas rumah kaca.
9. Pemanasan global adalah akibat meteor yang menabrak Siberia di awal abad ke-20.
10. Suhu di beberapa wilayah tidak meningkat sehingga pemanasan global adalah mitos.

Buku dan juga film an inconvenient truth membawa pesan yang kuat yang semakin menyadarkan manusia dalam menjaga bumi yang hanya satu-satunya ini untuk kepentingan manusia dan anak-cucunya saat ini dan nanti.

Wednesday, December 19, 2007

iWoz


Penulis: Steve Wozniak dengan Gina Smith
Penerbit: Headline Review, 2006

Komputer Apple I dan Apple II. Itulah hasil rancangan Steve Wozniak. Dengan produk Apple I inilah Apple Computer didirikan Steve Jobs, Steve Wozniak, dan Ron Wayne di akhir tahun 1975.

Apple I adalah komputer yang bisa dihubungkan ke keyboard untuk memasukkan input data dan ke TV sebagai layar untuk melihat hasilnya. Pada waktu itu, belum ada komputer yang menggunakan display dan keyboard. Komputer masih menggunakan switch dan lampu di panel depan dan tidak ada layar.

Komputer inilah yang diperlihatkan pada pertemuan Homebrew Computer Club. Steve Jobs mengusulkan untuk menggunakan Intel DRAM daripada AMI DRAM. Dan Steve Jobs lah yang mengusulkan untuk membuat dan menjual printed circuit board dari Apple I kepada anggota-anggota Homebrew lainnya. Meskipun para anggota Homebrew mendapatkan skema Apple I, mereka mungkin tidak punya waktu atau tidak mampu untuk mewujudkan komputer ini.

Agar balik modal, paling tidak harus terjual 50 unit printed circuit board seharga $40. Wozniak meragukan apakah hal ini bisa terwujud. Hanya ada 500-an anggota Homebrew Computer dan sebagian besar antusias pada Altair. Tapi Steve Jobs punya argumen bagus, "Kalaupun kita kehilangan uang, kita punya perusahaan. Untuk sekali dalam hidup kita, kita akan punya perusahaan."

Adapun Apple II didesain untuk berwarna, dengan grafis resolusi tinggi, suara, bisa ditambahkan pedal game, dan bisa nge-boot, siap untuk digunakan dengan bahasa BASIC di ROM-nya. Apple II diumumkan dan dipertunjukkan di West Coast Computer Faire di San Fransisco, bulan Januari 1977.

Kalau melihat masa kecil dan remaja Steve Wozniak, tidak heran kalau dia bisa membuat komputer. Sejak kecil mainannya adalah barang-barang elektronika. Ayah Woz adalah insinyur di program peluru kendali di Lockheed. Woz selalu bertanya dan ayahnya menerangkan, tentang resistor, elektron, diode, transistor, apa saja. Ketika di kelas 6, Woz sangat maju di bidang matematika dan sains, dan ketika dites IQ, ternyata IQ-nya 200 lebih.

Sejak kelas 3 sampai kelas 8 Woz selalu ikut kompetisi sains. Di kelas 8 dia membuat alat Penambah/Pengurang. Ketika di sekolah menengah, Woz mulai suka jahil, mengerjai orang. Sampai-sampai dia pernah dimasukkan ke sel selama semalam. Sifat jahilnya, yang kalau dipikir-pikir mengarah ke kriminal, bahkan muncul di West Coast Computer Faire.

Ketika di SMA, guru elektronika mengizinkan Woz bekerja pada jam sekolah hari Jumat di suatu perusahaan untuk membuat program komputer. Woz membeli buku FORTRAN, belajar menggunakan keypunch, dan menjalankan programnya. Di sini Woz mengenal yang disebut loop (kantor pusat Apple sekarang terletak di 1 Infinite Loop), dan mendapatkan handbook komputer mini dari Digital Equipmen PDP-8 serta mempelajarinya. Sejak itu Woz mengumpulkan manual dari berbagai komputer mini dan katalog-katalog dari berbagai komponen komputer. Di kamarnya, dalam waktu luangnya, Woz mendesain ulang komputer-komputer tersebut menurut versinya sendiri sampai dua-tiga kali, dengan makin sedikit chip dan makin efisien, tetapi hanya di atas kertas.

Sebelum melanjutkan kuliah di Berkeley (sebelumnya Woz kuliah di Colorado dan De Anza), Woz membaca tentang Blue Box, alat untuk mengelabui perusahaan telepon supaya bisa menelepon gratis seolah menelepon ke nomor bebas pulsa. Woz membuat Blue Box digital. Pada waktu ini, Woz sudah mengenal Steve Jobs. Steve Jobs juga yang mengusulkan untuk mengkomersialkan alat ini. Tapi usaha ini membuat mereka was-was karena alat ini sesungguhnya ilegal.

O ya, kerjasama (bisnis) kedua Steve juga pernah terjadi ketika Steve Jobs bekerja di Atari dan waktu itu Steve Wozniak sudah bekerja di Hewlett Packard. Hanya diberi waktu 4 hari, Woz mendapat order untuk membuat game, versi solitaire dari game Pong dan Woz berhasil melakukannya. Steve Jobs membagi honornya separuh dengan Woz. Jobs mengaku bahwa dia mendapat 700 dolar dari Atari. (Di iCon yang ditulis Jeffrey S. Young dan William L. Simon disebutkan Jobs mengaku hanya mendapat $600. Tentang iCon, lihat catatan saya di Steve Jobs dan Bill Gates, Di Mana Aku Waktu Itu?) Tapi dari orang lain, Woz mendengar bahwa Jobs mendapat lebih sampai beberapa ribu dolar (Di iCon disebutkan $ 1,000). Meskipun sakit hati, Woz tidak mau mempermasalahkannya. Orang kan beda-beda, menurut Woz.

Membaca iWoz seperti mendengar Steve Wozniak sendiri yang bercerita kepada kita. Betapa beruntungnya Woz, mempunyai ayah yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaannya, memperkenalkannya dengan bahan dan alat-alat elektronika, mengajarinya menyolder, menyediakan majalah-majalah tentang elektronika, mendukungnya dalam proyek-proyek sains sekolah, memberikan landasan yang kokoh dalam hardware dan software.

Di bab akhir, Woz memberi nasihat bagi calon inventor, antara lain: bekerjalah sendiri (Woz tidak percaya kerja tim), lihat sesuatu secara abu-abu (tidak hitam-putih). Woz mengibaratkan engineer hampir sama seperti seniman: untuk mencapai kesempurnaan, menata segala sesuatunya secara sempurna, dengan cara yang belum pernah dilakukan seorang pun.

Monday, December 10, 2007

Angka-Angka Berbicara - Perbincangan Tentang Statistik Di Indonesia


Penulis: Soetjipto Wirosardjono
Penyunting: Imam Ahmad
Penerbit: LP3ES, Februari 2007

Angka-Angka Berbicara berisi kumpulan tulisan Soetjipto Wirosardjono yang semula adalah kolom di harian, majalah, makalah, kertas kerja, bahan seminar, dan lain-lain, dalam kurun waktu 1976-2006 (yang terlacak) dan sebagian kecil tidak terlacak. Selain itu, terselip satu tulisan Toto Sastrasuanda (mantan Deputi Bidang Statistik Sosial di BPS dan Pimpinan Proyek dan Penanggungjawab Sensus Penduduk 2000) berjudul 'Tinjauan Pelaksanaan Sensus Penduduk 2000'.

Sebanyak 43 tulisan Soetjipto dan 1 tulisan Toto dikelompokkan ke dalam 4 bagian:
1. Statistik dan Masyarakat Modern.
2. Penduduk, Tenaga Kerja, dan Ekonomi.
3. Masalah Perstatistikan Nasional dan BPS.
4. Aspek Metodologis dan Teknis dalam Statistik.

Karena berisi kumpulan tulisan, terasa adanya diskontinuitas antara satu tulisan dan tulisan lain, meskipun sudah ada pengelompokan tulisan ataupun ada persinggungan antara satu tulisan dan tulisan lain.

Bagian I menyoroti kebutuhan statistik di dunia (pemerintahan dan bisnis) modern. Dalam tulisan 'Angka', Soetjipto menceritakan temannya yang kutu buku (yang didukung bakat bahasa dan aksara) tetapi buta angka. Sedikit banyak hal ini mengingatkan saya pada Ayah saya yang berminat pada bahasa tetapi alergi pada angka-angka. Yah.., orang kan beda-beda.. Kondisi buta angka ini mungkin karena orang-orang Timur (Cina, Jepang, Jawa, ..) kuno tidak mengenal angka; kurang memberi tempat pada logika dan lebih percaya pada renungan, olah cipta, rasa, karsa. Huruf Kanji Cina dan Jepang serta aksara Jawa tidak mengenal angka. Sekarang, peradaban dunia sudah bermatra dua: alfabetis dan numerik. Kemudian, di bagian I, Soetjipto membahas manfaat data statistik untuk menyusun perencanaan strategis atau mengidentifikasi karakteristik konsumen bagi dunia usaha.

Bagian II berisi pembahasan mengenai kependudukan, ketenagakerjaan, tenaga kerja informal, produksi pangan, energi, konsumsi masyarakat, pertumbuhan ekonomi, sebagai interpretasi dari data statistik BPS. Bagian ini juga mengemukakan permasalahan pada Peta Kemiskinan yang dibuat Bappenas (sekitar tahun 1992 ?) dan dikatakan sumber datanya dari BPS. Ternyata sumber data peta tersebut adalah data survei Potensi Desa (Podes) yang berisi data fasilitas desa dan bukan data penduduk desa sehingga yang terplot adalah desa yang miskin fasilitasnya, bukan yang miskin penduduknya. Soetjipto mengusulkan supaya Peta Kemiskinan dibuat berdasarkan data pendapatan atau pengeluaran rumah tangga, atau didekati dari pekerjaan kepala rumah tangga, atau keadaan rumah (atap, dinding, lantai). Hendaknya data dasar betul-betul disusun dan bukan menumpang pada data seadanya.

Bagian III memperlihatkan BPS sebagai penyedia data, yaitu bagaimana supaya BPS lebih tanggap terhadap kebutuhan konsumen (pengguna data), permasalahan-permasalahan yang dihadapi untuk menyediakan data nasional sampai desa, dan reorganisasi BPS dalam menjawab tantangan dari luar dan masalah di dalam.

Bagian IV seperti judulnya, membahas aspek metodologis dan teknis dalam statistik, antara lain mengenai sampling error dan non-sampling error.

Buku Angka-Angka Berbicara memperlihatkan keluasan dan kedalaman Soetjipto dalam teori dan praktek statistik di Indonesia. Melalui tulisan-tulisan Soetjipto, pengguna data BPS bisa mengintip dapur BPS, bagaimana persiapan dan pelaksanaan survei, sampai pada penyajian data statistik di dalam tabel-tabel. Mahasiswa yang belajar statistik dan metoda penelitian bisa sedikit membayangkan penerapan ilmu statistik, seperti penggunaan sampel untuk menaksir populasi.

Beberapa tulisan tidak terlacak tanggal penulisannya. Sebagian besar tulisan dibuat pada tahun 1980-an dan awal 1990-an. Hanya dua tulisan yang dibuat pada tahun 2000-an, yaitu "Pengembangan Sistem Statistik Indonesia: Dari Sigma Sampai Delta" dan satu lagi tulisan Toto Sastrasuanda, "Tinjauan Pelaksanaan Sensus Penduduk 2000"; keduanya ditulis pada Agustus 2006. Terus terang, hal ini membuat buku ini terasa "back to eighties"; teringat jaman kuliah ketika sering melihat nama Soetjipto Wirosardjono terpampang di majalah 'Tempo'.

Satu hal lagi, ketika membaca tulisan-tulisan di buku ini, tadinya saya mengira sumber di mana suatu tulisan pernah dimuat, tidak dicantumkan. Ternyata sumber tulisan disatukan untuk semua tulisan, terletak sesudah akhir Bagian IV, sebelum Index. Bagi saya, lebih enak jika sumber tulisan dicantumkan pada setiap akhir tulisan sehingga pembaca tidak perlu jauh-jauh mencari ke halaman belakang untuk mengetahui suatu tulisan pernah dimuat di mana pada tahun berapa.

The Namesake - Makna Sebuah Nama


Judul asli: The Namesake
Penulis: Jhumpa Lahiri
Penerjemah: Gita Yuliani K.
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006

Orang Bengali punya dua nama, yaitu nama kecil dan nama resmi, selain nama keluarga. Nama kecil atau nama panggilan beredar hanya di kalangan keluarga dan teman-teman dekat. Sedangkan untuk berbagai urusan formal, nama resmilah yang digunakan.

Ketika pasangan Ashima dan Ashoke mempunyai bayi, nenek Ashima melayangkan surat berisi nama resmi untuk sang bayi. Sayang, surat tersebut hilang di antara Calcutta--tempat tinggal Nenek-- dan Cambridge--tempat tinggal Ashima dan Ashoke. Terdesak untuk segera memberi nama agar putranya bisa ke luar dari rumah sakit, Ashoke menamai sang bayi dengan nama Gogol. Gogol Ganguli. Tidak lama setelah itu, nenek Ashima terserang stroke dan punahlah harapan mendapatkan nama resmi dari Nenek.

Ashoke mempunyai kenangan tersendiri tentang (Nikolai) Gogol. Ashoke pernah mengalami kecelakaan kereta api dan diselamatkan berkat buku cerita pendek Nikolai Gogol. Para penolong melihat lembaran buku Gogol dan Ashoke yang berada di dekat buku tersebut. Ashoke lumpuh selama setahun dan ketika dia sudah berjalan, Ashoke kuliah kembali dan mencari beasiswa ke luar negeri. Ia diterima di Teknik Elektro MIT. Lulus kuliah, Ashoke menjadi dosen di MIT.

Ketika Gogol mulai sekolah, Ashoke mendaftarkannya sebagai Nikhil, yaitu nama resmi pemberian Ashoke sendiri. Namun Gogol tidak bereaksi dengan nama Nikhil dan lebih menyukai nama Gogol. Pada akhirnya sekolah pun menggunakan nama Gogol Ganguli; suatu hal yang tidak disetujui orang tua Gogol karena, seperti telah disebutkan, bagi orang Bengali, nama resmilah yang digunakan untuk semua keperluan formal. Gogol kan nama panggilan yang hanya digunakan oleh kalangan dekat.

Gogol tumbuh di lingkungan pergaulan dan sekolah Amerika. Tetapi orang tuanya membawa pengaruh Bengali di rumah dan lingkungan pergaulan orang tua. Keluarga-keluarga Bengali sering berkumpul untuk merayakan sesuatu, baik itu ulang tahun, kelulusan, maupun upacara-upacara adat seperti upacara makanan padat pertama bagi bayi ataupun upacara pujo.

Sebaliknya, sebenarnya anak-anak pun membawa pengaruh Amerika bagi kedua orang tua. Menu sehari-hari di rumah tidak melulu makanan Bengali, tetapi juga sandwich atau steak. Ashima dan Ashoke serta keluarga Bengali lainnya ikut merayakan Natal meskipun mereka tetap beragama Hindu. Gogol mendesak orang tuanya untuk membeli pohon Natal bagi rumah mereka.

Gogol tumbuh menjadi remaja. Di sekolah, guru sastra memperkenalkannya dengan Nikolai Gogol: salah satu pengarang Rusia yang hebat, yang mati muda sebelum berusia 43 tahun. Dikabarkan bahwa Nikolai Gogol seorang yang paranoid, melankolis, sering mengalami depresi, sulit bergaul, tidak pernah menikah, dan tidak punya anak. Mengapa orang tuanya tidak pernah memberi tahu tentang ini? Gogol remaja tidak pernah berkencan. Rasanya nama Gogol tidak romantis untuk berkenalan dengan seorang gadis.

Selepas sekolah menengah, Gogol diterima di Yale. Sebenarnya dia juga diterima di MIT, almamater ayahnya; tetapi Gogol memilih Yale. Sebelum masuk Yale, secara resmi Gogol mengganti namanya dengan Nikhil.

Begitulah, sejak itu Gogol menjadi Nikhil, sesuatu yang dulu pernah ditolaknya ketika mulai bersekolah di pre-school. Proses pendewasaan Gogol berlangsung dengan nama Nikhil ini. Kuliah, berkencan, putus cinta, magang, bekerja. Tetapi tentu saja, bagi keluarganya dan lingkungan orang-orang Bengali, Gogol tetap Gogol.

Gogol pindah ke New York. Sonia, adiknya, kuliah di San Fransisco. Ashoke mendapatkan beasiswa untuk riset di Cleveland. Dan Ashima tetap di Pemberton Road.

Di Cleveland, Ashoke meninggal dunia. Gogol pergi ke Cleveland mengemasi barang-barang ayahnya. Sejak Ashoke meninggal, Ashima jadi lebih sering menelepon Gogol. Dia menjodohkan Gogol dengan gadis Bengali.

Begitulah, Gogol kemudian menikahi Moushumi, kandidat Ph.D sastra Prancis di NYU, yang sebenarnya sudah diketahuinya sejak kecil. Namun, pernikahan ini kemudian berakhir.

Pada akhinya, rumah di Pemberton Road akan dijual. Ashima berencana untuk tinggal di India enam bulan dan di Amerika enam bulan. Sonia akan menikah. Gogol berencana untuk pindah kerja ke perusahaan yang lebih kecil, yang membuka kemungkinan dirinya dijadikan partner.

Gogol, terjebak antara budaya Bengali dan Amerika, dengan menyandang nama Rusia. Ndilalah, Nikolai Gogol, yang sebagian namanya dipakai Gogol (Ganguli), meskipun terkenal sebagai pengarang hebat tetapi memiliki kepribadian yang menyedihkan. Menjadikan Gogol (Ganguli) bermasalah dengan namanya. Karena apapun nama itu: nama panggilan, julukan, nama resmi di akte kelahiran, adalah identitas diri kita, yang sepertinya menjadi karakter kita.

The Namesake bercerita tentang perbedaan antar budaya (Bengali dan Amerika Serikat) dan antar generasi (orang tua dan anak), yang juga bercerita tentang penyesuaian diri. Anak-anak keluarga Bengali yang lahir dan dibesarkan di Amerika; orang tua Bengali yang memiliki keterikatan yang kuat dengan India karena masa lalu dan keluarga besarnya di sana. Adaptasi terbesar mungkin yang dialami istri Bengali, yang praktis tidak mengenal seorang pun di negeri yang baru. Ia baru mengenal suaminya--karena dijodohkan--, harus mengurus keluarga baru, di negeri orang pula. Ashima masih mengenakan sari dan menggelung rambutnya, dan mengenakan atribut perempuan Bengali yang sudah menikah. Seolah itu semua hidup di hadapan kita melalui penuturan yang memikat dari Jhumpa Lahiri.